Wujud Akulturasi Budaya, Perkumpulan Boen Hian Tong Semarang Ciptakan Gamelan Cina Jawa

Wujud Akulturasi Budaya, Perkumpulan Boen Hian Tong Semarang Ciptakan Gamelan Cina Jawa
info gambar utama

Pada malam yang diguyur hujan (9/3/2024), alunan musik Jawa dari permainan gamelan mengalun dari salah satu bangunan di Pecinan Semarang. Uniknya, gamelan tersebut diiringi dengan musik tradisional Tionghoa yang dibawakan oleh para pemain lam koan.

Para penonton terlihat menikmati penampilan yang baru pertama kali mereka lihat tersebut sambil menikmati hidangan khas peranakan seperti lontong cap go meh dan wedang ronde yang diedarkan ke bangku-bangku penonton.

Asal Usul Penciptaan Gamelan Cina Jawa

Pertunjukan yang tengah ditampilkan tersebut adalah penampilan perdana Gamelan Cina Jawa atau disingkat sebagai Lan Cin Wa. Dinamakan demikian karena permainanya memadukan dua orkes tradisional dalam budaya Jawa dan Tionghoa, yaitu gamelan dan lan koam.

Gamelan tersebut dimiliki oleh Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong yang pada malam itu tengah berhajat merayakan 148 tahun berdirinya organisasi mereka. Gedung bersejarah yang menjadi lokasi pertunjukan juga merupakan kantor dari perkumpulan yang berbasis di Kota Semarang ini.

Tidak kalah bersejarah dari perkumpulan itu sendiri, gamelan yang dimainkan telah berusia minimal 100 tahun. Umur itu diketahui dari data inventaris Boen Hian Tong tahun 1924 yang telah mencatat keberadaan gamelan. Gamelan pun menjadi alat kesenian dari perkumpulan Tionghoa tersebut hingga 1990an.

Setelah mengalami vakum yang cukup lama, upaya untuk menghidupkan kembali kesenian gamelan dilakukan. Kali ini dengan mengkreasikanya bersama grup lam koan yang rutin bermain di Boen Hian Tong.

Lam koan atau lebih populer sebagai nanyin adalah kesenian musik dari Cina Selatan yang menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bersama dengan gelombang migrasi.

Instrumen lam koan yang dimiliki Boen Hian Tong juga merupakan warisan dari berbabagai generasi yang terdiri dari alat musik gesek, tiup, dan petik seperti erhu atau rebab, dizi atau suling, guzheng atau kecapi, dan yanqing.

Satu set Gamelan Jawa milik Perkumpulan Boen Hian Tong yang lama tak digunakan. Foto: Dokumen Pribadi
info gambar

Selain dari sejarah, keunikan gamelan Boen Hian Tiong juga datang dari karakteristik instrumen. Umumnya, instrumen gamelan seperti bonang hanya memiliki dua gender, yaitu bonang barung dan bonang penerus yang masing-masing memiliki tugas berbeda. Sementara gamelan ini memiliki gender ketiga dengan tinggi nada yang berkisar diantara penabuh dan penerus.

Kemudian pada wilahan (bilah), bagian gamelan berupa lempengan logam atau kayu yang dipukul untuk menghasilkan suara. Umumnya pada gamelan Jawa wilahan (bilah) ditancapkan pada rangka tetapi gamelan ini memiliki wilahan instrumen demung, peking, dan saron yang digantung. Ini membuat gamelan serupa dengan gamelan Bali.

Rancakan atau rangka gamelan yang berwarna merah manggis juga ditujukan untuk menghindari penggunaan merah cabai yang sejak Dinasti Ming merupakan warna seorang kaisar.

Gamelan: Ritual Keagamaan Orang Jawa?

Kreativitas Memadukan Budaya dari Jose Amadeus

Kelahiran Gamelan Cina Jawa tidak terlepas dari peran Foe Jose Amadeus Krisna, seorang dalang muda asli Semarang. Berbekal ilmu karawitan yang dimilikinya, Jose yang juga seorang pengurus Boen Hian Tong membantu membangkitkan kesenian yang mati suri sekaligus membuatnya menjadi bentuk yang baru.

Salah satu tantangan yang dihadapi Jose adalah menyelaraskan antara gamelan dengan lam koan yang memiliki tangga nada berbeda.

Gamelan memiliki lima (penta) nada pokok atau pentatonis yang umum ditemukan dalam alat musik tradisional Jawa dan Sunda. Khususnya gamelan Boen Hian Tiong memiliki laras slendro yang menghasilkan sifat permainan yang riang. Sementara lam koan bertangga nada diatonis atau memiliki tujuh nada utama seperti halnya piano.

Perpaduan tersebut mewujudkan ansambel gamelan-lam koan yang mampu memainkan lagu-lagu Jawa bersifat dolanan atau hiburan seperti Lir-Ilir dan Gambang Semarang. Tidak hanya indah di telinga tetapi juga dalam makna karena membawa pesan akan persatuan budaya.

Sosok Jose Amadeus Krisna. Foto: Instagram @foe_jose
info gambar

Selain menjadi projek dalam tesisnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, gamelan akulturasi tersebut juga disiapkan sebagai pengiring dari Wayang Geger Pecinan.

Wayang Geger Pecinan adalah wayang kulit kreasi Jose yang mengangkat lakon (kisah) dari peristiwa bersejarah Geger Pecinan. Peristiwa perlawanan terakbar yang pernah dihadapi VOC tersebut dikobarkan oleh aliansi Jawa-Tionghoa di Pulau Jawa, termasuk di Semarang.

Sejarah Geger Pecinan sayangnya hampir tidak pernah disinggung dalam pendidikan sejarah di sekolah. Padahal terdapat pesan kuat dari sejarah persatuan dalam keberagaman yang terjadi jauh sebelum kelahiran Indonesia.

Untuk merawat sejarah Geger Pecinan melalui kesenian wayang, Jose membuat 46 karakter wayang baru yang berwujud kapitan Cina, kompeni Belanda, hingga petinggi Kerajaan Mataram. Tidak berhenti disitu, Jose juga membuat wayang kronik, yaitu wayang kulit dengan lakon dari cerita rakyat Cina seperti Sun Go Kong.

Misteri Hantu Toko Merah: Saksi Peristiwa Berdarah Geger Pecinan di Batavia

Semangat Akulturasi Warisan Gus Dur

Perayaan malam tersebut juga ditujukan sebagai haul atau peringatan hari wafat Gus Dur yang dihormati sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.

Atas jasanya mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 dan menetapkan Imlek sebagai hari libur, komunitas Tionghoa dapat sepenuhnya mengekspresikan dan menjaga tradisi mereka di negeri ini. Selain itu Gus Dur juga diketahui memiliki darah Tionghoa dari leluhurnya.

Boen Hian Tong sendiri memiliki sinci atau papan arwah Gus Dur yang satu-satunya ada di Indonesia. Sinci yang ditujukan sebagai sarana penghormatan untuk Gus Dur dibuat khusus dengan bentuk masjid khas Jawa dengan atap limas bersusun tiga.

Puncak kegitan diisi dengan prosesi mencampur tumpeng berisi nasi uli dan kecombrang yang dilakukan oleh petinggi perkumpulan dan perwakilan dari berbagai tokoh agama.

Ditambahkan pula kikil asal Jombang, makanan kesukaan Gus Dur dari kampung halamanya yang dibawa langsung oleh pengurus Klenteng Gudo Jombang. Tumpeng kemudian dibagikan pada hadirin untuk disantap bersama.

"Inilah Indonesia. Campur-campur tapi jadinya enak,'' sahut Ketua Boen Hian Tiong Harijanto Halim saat menikmati komponen tumpeng yang telah teraduk sedemikian rupa. Kalimat yang tepat dalam menggambarkan indahnya akulturasi budaya pada malam itu, terutama dalam kesenian.

Hidangan Imlek: Lontong Cap Go Meh, Makanan Akulturasi Jawa – Tionghoa

Referensi

Muhammad, F. (2020, November). 280 Tahun Geger Pecinan. National Geographic Indonesia, 16(11), 28-33.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini