Apa Itu REC, Instrumen EBT yang Buat Istana Kepresidenan Dipasok Energi Hijau

Apa Itu REC, Instrumen EBT yang Buat Istana Kepresidenan Dipasok Energi Hijau
info gambar utama

Energi hijau merupakan sumber energi yang berasal dari material ramah lingkungan dan tidak menimbulkan dampak negatif, terutama dari segi produksi emisi karbon. Hal ini menjadi salah satu upaya yang banyak didorong untuk mengatasi kondisi krisis iklim.

Di Indonesia, upaya ini sudah banyak dilakukan lewat berbagai tindakan. Mulai dari pembangunan fasilitas dan infrastruktur Energi Baru Terbarukan (EBT) itu sendiri, hingga penerapannya dalam berbagai lingkup aktivitas.

Sudah pasti, negara menjadi salah satu bagian yang sewajarnya berkontribusi paling besar dari penerapan energi hijau. Praktiknya umum diterapkan dalam berbagai cara seperti pemasangan panel surya di gedung pemerintahan, dan lain-lain.

Di samping itu, ada satu lagi skema pemanfaatan energi hijau yang banyak diterapkan sejumlah negata termasuk Indonesia. Salah satunya skema Renewable Energy Certificate atau REC.

Tumpang Tindih Energi Fosil dan Energi Terbarukan dalam RUU EBT

Mengenal REC

Pembelian sertifikat REC di Istana Kepresidenan Yogyakarta (pln.co.id)
info gambar

REC sendiri merupakan instrumen pasokan energi yang diterapkan oleh PLN, dalam menjual energi listrik hasil produksi fasilitas EBT yang mereka kelola.

Mengutip laman resmi REC, sejumlah pihak baik itu pribadi, perusahaan swasta, negeri, atau pemerintahan bisa mengajukan skema layanan REC kepada PLN. Hal ini biasanya dilakukan sebagai bentuk komitmen dari pihak tertentu yang ingin menunjukkan dukungannya dalam mewujudkan praktik EBT di Indonesia.

Nantinya saat sistem kelistrikan sudah di-setting agar berasal dari pembangkit listrik (PLT) berbasis EBT, maka pihak pengaju akan memperoleh sertifikat REC. Sejauh ini ada tiga kategori layanan pembelian listrik berbasis REC yang tersedia, yakni retail, signature, dan enterprise.

Masing-masing kategori tersebut biasanya memiliki ketentuan berupa berapa banyak jumlah minimal kapasitas atau unit REC yang ingin dibeli. Yang menarik, di Indonesia harga untuk hitungan satu REC ternyata jauh lebih murah jika dibandingkan dengan negara lain.

Mengutip Kumparan.com, harga 1 unit REC di Indonesia berada di angka Rp35 ribu. Harga tersebut lebih murah jika dibandingkan dengan India, yang mematok satu unit REC dengan harga Rp180 ribu, atau Australia dengan harga mulai dari Rp300 ribu.

Menurut Darmawan Prasodjo selaku Dirut PLN, jual-beli REC sendiri merupakan instrumen yang ditawarkan PLN kepada pelanggan yang membutuhkan pengakuan akan penggunaan EBT. Ia juga menjelaskan akan dialokasikan kemana dana yang diperoleh dari penjualan sertifikat REC.

“Pendapatan dari REC ini PLN alokasikan untuk penambahan pembangkit energi baru terbarukan untuk mencapai target Net Zero Emission 2060,” jelasnya.

Mengenal PLTS Terapung, Ada 3 Proyek yang Sedang Dibangun di Indonesia

REC 100 persen di Istana Kepresidenan

Terbaru, kabar mengenai praktik REC yang banyak diberitakan datang dari kawasan Istana Kepresidenan. Sekadar informasi, saat ini ada sebanyak enam Istana Kepresidenan di Indonesia. Enam istana tersebut terdiri dari Istana Bogor, Cipanas, Yogyakarta, Tampaksiring, dan Istana Negara serta Merdeka yang ada di Jakarta.

Pada bulan Juni lalu dikonfirmasi bahwa semua Istana Kepresidenan RI 100 persen sudah menggunakan listrik EBT berbasis REC. Disebutkan jika Istana Bogor jadi yang pertama kali menerapkan praktik ini sejak bulan Maret 2022. Baru kemudian Istana Tampaksiring dan Yogyakarta mengikuti di bulan Mei dan Juni.

Setelahnya Istana Kepresiden Cipanas dan dua Istana di Jakarta menyusul. Sehingga per 1 Juni, praktik EBT sudah diterapkan seutuhnya di Istana Kepresidenan termasuk lingkungan kesekretariatan negara.

Kepala Biro Umum Sekretariat Presiden Erry Hermawan menjelaskan, langkah tersebut dilakukan sesuai dengan arahan dari Presiden Joko Widodo. Di mana praktiknya bertujuan untuk menunjukkan komitmen mendukung upaya pengembangan EBT.

“Ini untuk mengatasi energi fosil yang semakin lama akan semakin terbatas. Selain itu, langkah ini juga akan mendukung energi hijau untuk mengatasi kendala lingkungan, khususnya di Indonesia,” ujar Erry.

Bukan hal baru, sebenarnya layanan pasokan listrik dengan skema REC ini sudah lebih dulu dan banyak diterapkan oleh berbagai pihak swasta atau perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Adapun sejumlah perusahaan yang diketahui sudah lebih dulu membeli sertifikat REC dari PLN terdiri dari Nike, Otsuka, Zurich, Pigeon, dan masih banyak lagi.

Menilik Riwayat Pembangunan dan Potensi PLTB di Indonesia

Dari mana pasokan listrik REC berasal?

Fasilitas atau infrastruktur pembangkit listrik (PLT) berbasis EBT di Indonesia bisa dibilang memang terdapat di berbagai wilayah, mulai dari PLTS, PLTA, PLTB, hingga PLTP. Namun, PLT mana yang secara spesifik memasok energi bersih untuk skema REC?

Masih menurut penjelasan di laman REC, ada tiga pembangkit yang digunakan oleh PLN untuk memasok listrik kebutuhan REC. Tiga PLT yang dimaksud terdiri dari:

  1. PLTP (panas bumi) Lahendong, yang memiliki kapasitas penghasil listrik 80 MW dan kuota REC sebanyak 24.539 unit.
  2. PLTP Kamojang, dengan kapasitas penghasil listrik 140 MW dengan kuota REC sebanyak 380.311 unit.
  3. PLTA (air) Bakaru, dengan kapasitas penghasil listrik sebesar 130 MW dengan kuota REC sebanyak 807.814 unit.

Salah satu PLT EBT yang berbasis di Pulau Jawa sendiri yakni PLTP Kamojang, merupakan salah satu PLTP tertua yang sudah ada di Indonesia sejak tahun 1982. Sebenarnya PLTP Kamojang yang berada di Bandung sendiri terintegrasi dengan dua PLTP lain yang ada di kawasan sekitar.

Adapun dua PLTP yang dimaksud terdiri dari PLTP Darajat yang berada di Garut dengan kapasitas 55 MW, dan PLTP Gunung Salak yang berada di Sukabumi dengan kapasitas 180 MW.

Lebih Dekat dengan PLTP Kamojang, Pembangkit Listrik dan Wisata Panas Bumi Tertua di Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

SA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini