Melihat Kegemilangan Industri Gula di Kudus Sebelum Jadi Kota Kretek

Melihat Kegemilangan Industri Gula di Kudus Sebelum Jadi Kota Kretek
info gambar utama

Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun pabrik-pabrik tebu di Jawa, salah satunya di Kudus sejak 1840. Hal ini bertujuan menopang dan memperkuat perdagangan internasional gula di Eropa yang telah dirintis sejak 1637.

Pabrik gula kemudian mengantar Kudus menjadi salah satu penghasil gula di Indonesia. Gula menjadi produk paling tenar di Kudus sebelum kota yang didirikan oleh Sunan Kudus ini menjadi populer dengan Kota Kretek.

Gula Jawa dan Gula Aren, Si Manis yang Ternyata Berbeda

Sejarawan Kudus, Sancaka Dwi Supani mengutarakan bahwa keberadaan pabrik gula semakin menambah jumlah warga Eropa dan China tinggal di Kudus. Penduduk pribumi menyebut tempat tinggal mereka sebagai loji atau rumah para mandor.

“Ciri khas rumah tersebut pintu dan jendela yang besar-besar dengan model persegi serta berdaun jendela atau pintu ganda. Atap bangunan dengan bentuk limasan. Pada plafonnya menggunakan bahan papan kayu,” ujar Supani yang dimuat Kompas.

Kesuksesan industri tebu

Industri Tebu/Shutterstock
info gambar

Teguh Agung Tri Nugroho yang merupakan administratur PG Rendeng menjelaskan kesuksesan industri gula Hindia Belanda didukung tersedianya lahan yang luas dan subur, tenaga kerja dan sewa lahan yang murah serta pabrik yang andal.

“Waktu itu, PG Rendeng mempunyai lahan tebu bersistem irigasi yang baik. Rendemen atau kandungan kadar gula dalam tebu rata-rata 12 persen dengan produksi gula hampir dua kali lipat dari saat ini,” teguh.

Kemudian, jelas Teguh, lahan tebu di wilayah kerja PG Rendeng menempati lahan-lahan yang tidak digunakan untuk tanaman padi dan jagung. Lahan tebu itu seluas 5.089,86 hektare yang tersebar di enam kabupaten.

Mengintip Kawasan Menara Kudus yang Menuju Jadi Warisan Budaya Dunia

Tetapi rendemen yang dihasilkan masih jauh di bawah saat zaman Hindia Belanda, yakni 7,1-7,2 persen, bahkan pernah 6,01 persen. Rata-rata produksi gula kristal putih sebanyak 23.500 ton hingga 24.500 ton.

Di sisi lain, biaya sewa lahan naik dari Rp12 juta per hektare menjadi Rp14 juta per hektare per tahun (tahun 2013). Adapun biaya angkut yang semula Rp2.000 per kuintal naik menjadi Rp3.000-Rp3.500 per kuintal menjadi Rp4.500-Rp5.000 per kuintal.

“Kalau kenaikan harga sewa lahan dan biaya angkut tebang tebu tidak diimbangi dengan harga gula petani yang tinggi, para petani akan makin enggan menanam tebu,” ujar Kuslan.

Pelatihan teknik budi daya

Petani tebu/Shutterstock
info gambar

Pemerintah Daerah lantas melakukan pelatihan kepada puluhan petani di Kabupaten Kudus. Para petani ini diharapkan bisa memiliki kemampuan modern untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan.

Pelatihan ini diselenggarakan oleh Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Al Mawaddah Kudus dengan bekerja sama dengan Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan, Malang.

Pemkab Kudus Gelar Pameran Inovasi Publik

“Selama ini petani tebu di Kudus mulai dari proses penanaman sampai pengolahan masih dilakukan secara konvensional, yakni bergantung pada luas lahan persawahan,” paparnya yang dimuat Antara.

Padahal jelasnya komoditas itu tidak harus ditanam di lahan seperti persawahan, karena lahan kering pun dapat ditanami tentunya dengan varietas yang disesuaikan dengan kontur tanahnya.

“Harapannya, para petani nantinya tidak hanya menanam, kemudian menjual begitu saja. Melainkan bisa mengolahnya menjadi produk yang memiliki nilai jual lebih,” ujarnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini