Tradisi Sedekah Laut di Pantai Genjik, Kertojayan

Tradisi Sedekah Laut di Pantai Genjik, Kertojayan
info gambar utama

Pada Jum'at (28/7) tim KKN-PPM UGM unit Kertojayan berkesempatan menyaksikan tradisi Sedekah Laut atau biasa disebut juga Larungan. Tradisi tersebut dilaksanakan di Pantai Genjik, Kertojayan. Tradisi yang rutin diadakan setiap tahunnya itu –tepatnya di setiap bulan Muharram atau bulan Suro– merupakan bentuk rasa syukur masyarakat atas hasil laut yang diperoleh selama setahun, serta harapan agar memperoleh hasil yang baik tanpa rintangan di kemudian hari.

Mengutip dari Sabda Jurnal Kebudayaan (2017) menjelaskan jika tradisi ini dimulai dari kejadian tumbuhnya bunga Wijayakusuma pada jaman Prabu Aji Pramosa dari Kediri. Bunga ini memiliki kepercayaan bagi raja-raja di Surakarta dan Yogyakarta yang disebut memiliki makna vertikal dari warna, rupa, dan bentuknya.

Bunga ini terdiri dari 3 warna, 5 kelopak, dan 7 mahkota yang memiliki makna tersendiri bagi seorang pemimpin. 3 warna itu merupakan warna merah yang memiliki makna berupa kekuatan untuk membentuk sel-sel baru di tubuh manusia, hijau yang memiliki makna berupa pemeliharaan sel-sel di tubuh manusia, serta kuning janur yang berarti memiliki kekuatan untuk mengganti sel-sel di dalam tubuh manusia.

BMKG Dorong Pembentukan Tsunami Ready Community untuk Wilayah Rawan Bencana

Ketiga warna tersebut apabila dicampur akan menyatu memberikan warna putih kebiruan yang menyilaukan dan diyakini telah menyatu dengan ilahi. 5 kelopak melambangkan falsafah Pancasila dan 7 mahkota melambangkan unsur dalam tubuh manusia, yaitu rambut melambangkan suku bangsa dan etnis; kulit melambangkan agama; darah melambangkan suatu golongan; otot melambangkan kedudukan; daging melambangkan status sosial; tulang melambangkan pekerjaan atau kuasa; serta sumsum melambangkan kemampuan intelektual.

Menurut Babad Tanah Jawi, Adipati Anom, Sunan Amangkurat II pernah mengirimkan utusan untuk memetik bunga Wijayakusuma setelah dirinya dinobatkan menjadi Raja Mataram. Pemetikan bunga Wijayakusuma dilakukan dengan cara gaib melalui semedi. Sebelumnya, para utusan melakukan upacara “melabuh” di tengah laut dekat pulau Karang Bandung.

Pohon Wijayakusuma sebelum dipetik dibalut terlebih dahulu dengan cinde sampai keatas dan dengan berpakaian serba putih, utusan tersebut bersemedi dan nantinya bunga akan jatuh dengan sendirinya lalu dibawa dan dihadapkan kepada raja yang nantinya akan disantap oleh raja yang akan dinobatkan tersebut.

Mitos bunga Wijayakusuma ini melahirkan upacara atau tradisi sedekah laut yang dilaksanakan setiap bulan Suro oleh masyarakat nelayan pantai selatan seperti di Kertojayan dengan melarung rejekinya ke laut pantai selatan.

Tradisi ini dilakukan sebagai wujud syukur kepada Tuhan sekaligus berdoa agar hasil laut yang diberikan dapat berlimpah. Sebelum diadakan larungan, diadakan doa bersama terlebih dahulu. Harapannya melalui tradisi ini, para nelayan dapat mendapatkan hasil laut yang melimpah.

Melihat bagaimana warga begitu antusias membuat kami juga merasakan antusias warga terutama ketika bersama-sama dengan warga mendorong perahu yang ditaruh rumah yang berisikan persembahan. Tidak hanya ucapan syukur serta permohonan untuk mendapatkan hasil laut yang berlimpah.

Terbang ke Masa Depan: Inovasi Singapura dalam Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan

Larungan atau tradisi sedekah laut juga membawakan doa agar nelayan-nelayan yang nantinya akan melaut dan mencari hasil laut bisa dilindungi selama kegiatannya sehingga terhindar dari bahaya. Larungan atau sedekah laut juga menjadi simbol yang menggambarkan hubungan erat antara masyarakat pesisir dengan laut yang juga merupakan sumber kehidupan mereka.

Pada tradisi ini, diberikan persembahan berupa kepala kambing yang diberikan ke dalam rumah-rumahan. Pada rumah-rumahan tersebut diberikan juga bunga-bunga disekitarnya. Rumah yang berisikan akan kepala kambing tersebut lalu dibawa ke tengah laut oleh nelayan-nelayan dan didoakan. Rumah-rumahan yang berisikan akan persembahan itu disebut juga dengan sebutan uba rampe.

Pada bagian bawah uba rampe memiliki lubang yang berfungsi untuk menyimpan air dan air itu lalu di bawa kembali ke pesisir. Air tersebut digunakan untuk melindungi nelayan ketika nelayan tersebut akan mencari ikan atau bisa juga disebarkan melalui jala yang akan digunakan oleh nelayan. Beberapa wisatawan disana juga banyak yang meminta air yang dikumpulkan tersebut untuk dibawa kembali ke rumah mereka masing-masing.

Pada saat dilakukan larungan memang kondisi laut sedang memiliki gelombang yang cukup besar. Umumnya saat larungan, ada beberapa kapal yang menemani perahu yang berisikan akan uba rampe. Akan tetapi, karena saat itu sedang terjadi gelombang yang cukup tinggi, hanya 1 kapal saja yang digunakan untuk larungan.

Mengenal Bambu yang Baru Ditemukan di Flores, Mengapa Dinamakan Jokowi?

Daftar Pustaka

  • Suryanti, A. (2017). UPACARA ADAT SEDEKAH LAUT di Pantai Cilacap. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, 3(2). https://doi.org/10.14710/sabda.3.2.%p

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KG
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini